Pimpinan MPR Tegaskan Rencana Pajak Jasa Pendidikan Tidak Sesuai Pancasila

Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid menolak wacana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sembako dan sekolah/jasa Pendidikan dalam draf revisi Undang Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah terakhir kali dengan UU No. 16 Tahun 2009. HNW, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa wacana kebijakan tersebut tidak hanya berdampak negatif kepada rakyat menengah ke bawah yang perekonomiannya sedang dalam kondisi sulit di era pandemi Covid 19. Tetapi juga tidak mencerminkan pelaksanaan dari 2 sila Pancasila, yaitu sila kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

"Mereka, masyarakat menengah ke bawah, mayoritas rakyat Indonesia yang terhubung dengan sekolah dan sembako justru dikenakan pertambahan pajak, sedangkan para orang kaya/konglomerat diberikan kebijakan tax amnesty, juga pajak 0% untuk PPnBM. Kebijakan seperti itu jelas sangat tidak adil dan tidak manusiawi, tidak sesuai dengan Pancasila pada sila ke 2 dan ke 5," kata HNW melalui keterangannya, Jumat (11/6/2021). HNW mengatakan, pemerintah seharusnya bukan hanya terpaku pada pemenuhan pajak di era pandemi. Namun pemerintah mestinya berinovasi agar dapat melakukan kewajibannya melindungi, memakmurkan dan mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia.

"Karena pandemi covid 19 mengakibatkan daya beli dan daya bayar Rakyat menurun drastis. Mestinya pemerintah membantu Rakyat, jangan malah membebani dengan pajak pajak yang tidak adil itu," ujarnya. Karenanya HNW juga menolak tegas apabila pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ini juga menyasar kepada jasa pendidikan swasta baik formal, non formal maupun informal. Dia mengatakan, seharusnya kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat baik individu maupun organisasi, harus dibantu dengan cara memberi insentif. Bukan malah dibebani dengan dikenakan pajak.

"Seharusnya pemerintah berterima kasih, dan melindungi atau membantu pihak swasta yang menjadi penyelenggara jasa pendidikan karena telah membantu pemerintah memenuhi hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UUD NRI 1945," ucapnya. Wakil Ketua Majelis Syuro PKS itu menilai, wacana pengenaan pajak seperti ini bisa menambah lembaga pendidikan swasta baik pendidikan umum maupun keagamaan yang masuk pada kategori pendidikan formal, informal maupun non formal. Karena sektor pendidikan swasta itu juga sangat terdampak akibat pandemi Covid 19.

Pasalnya, bila merujuk kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 223/PMK.011/2014 tentang Kriteria Jasa Pendidikan yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai, mencakup juga pendidikan formal, non formal dan informal. Karenanya termasuk lembaga pendidikan keagamaan. Dan ketentuan ini tentunya juga akan terimbas apabila aturan rujukannya diubah melalui revisi UU KUP yang didorong oleh pemerintah, menjadi pihak2 yang termasuk dalam kategori dihapus dari ketentuan tidak terkena pajak. "Muhammadiyah, NU dan lain lain sudah sangat lama dan sangat banyak membantu pemerintah melaksanakan kewajiban pendidikan nasional, baik umum maupun keagamaan. Pada saat mereka kesusahan akibat Covid 19 mestinya kalau pun pemerintah tidak bisa membantu, ya jangan menambah kesulitan mereka dengan memberlakukan pajak (PPN) kepada mereka," ujarnya.

"Selain itu membebani dari sisi keuangan, juga bisa merobah paradigma pendidikan sebagai investasi untuk peningkatan SDM Indonesia, menjadi komuditas material objek pajak," imbuhnya. Dalam rangka memenuhi target target penerimaan negara dari pajak,HNW berharap agar Menkeu Sri Mulyani berlaku adil dan profesional dengan memperhatikan kondisi keseluruhan rakyat Indonesia, dan agar benar benar memberlakukan sila Kemanusiaan yg Adil dan Beradab serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Misalnya memberlakukan penambahan pajak pada para konglomerat, karenanya penting Menkeu mengkoreksi atau mencabut revisi RUU Perpajakan yang akan mengenakan pajak terhadap sembako dan lembaga pendidikan.

"Dan DPR agar benar benar mendengarkan aspirasi publik, menghadirkan keadilan dengan dan memastikan bahwa tidak ada revisi UU perpajakan yang tidak adil yang justru menambahi beban Rakyat, seperti draft revisi RUU Perpajakan yang bocor dan beredar luas itu," pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *